Mamring
Kebumen SuaraKalibening
Hujan baru saja berhenti, ketika jam di tanganku menunjuk angka setengah duabelas malam. Senter ditanganku tak sedetikpun aku matikan, menyorot ke jalan yang kupijak, memlipir ke bagian yang tidak becek, untuk terus menyusuri jalan desaku.
Sebenarnya tempat yang aku tuju malam itu tidaklah seberapa jauh, namun karena jalan desaku waktu itu memang masih berupa tanah terjal, maka perjalananku dengan jalan kaki, terasa menjadi memakan waktu lama untuk mencapainya.
Akhirnya sampai juga, yah, aku berhenti persis di depan sebuah batu besar, yang berdiri kokoh di pinggir kali Cacaban. Namanya watu Karang Gemantung.
Aku mendekat ke arah Karang Gemantung dengan menuruni beberapa galengan atau budinan milik warga. Lalu ku keluarkan pisau lipat kecilku dan aku cari daun pisang, terus kujadikan alas untuk duduk, persis disisi utara dari batu besar itu.
Aku mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya dan kuhisap pelan sambil merasakan betapa syahdunya suasana malam itu.
Suara suara binatang malam hari, gemerisiknya dedaunan dan suara derasnya air kali cacaban, menjadikan suasana semakin serasa indah dan damai terdengar di telingaku.
Aku semakin larut dalam suasana malam itu, tak terasa, sebatang rokok yang aku hisap dari tadi pun sudah habis. Untuk mengusir rasa dingin aku menyulut satu batang rokok lagi. Sambil membetulkan rodong kain sarungku agar lebih rapat menutupi tubuhku.
..................
Malam makin beranjak, angin sepoi berhembus, tetesan sisa air hujan jatuh dari dedaunan mengenai wajahku. Aku makin asyik dalam kesendirianku, bergumul dengan gemuruhnya jiwa, merenungi gejolak rasa hati, yang berbaur dengan tanda tanya, apa, siapa, dimana, dari mana, dan akan kemana.
Aku ini apa, aku ini siapa, aku ini dimana, aku ini dari mana, aku ini akan kemana. Masih terngiang jelas, kata kata temanku, dia seorang dalang, dan dia menyebut, ilmu 'sangkan paraning dumadi' .
Aku penasaran, aku ingin tahu, lalu akupun asyik dengan pertanyaan itu, hanya kepada diriku sendiri.
Tiba tiba sayup sayup kudengar dari kejauhan, sebuah tembang , entah siapa yang menyanyikannya namun yang kudengar syair lagu tersebut adalah:
ojo turu, sore kaki
ono dewo, langlang jagad
nyangking bokor kencanane
isine dedungo tetulak
sandang kelawan pangan
yoiku bageanipun,
wong melek, sabar, narimo
Aku suka sekali tembang itu, tembang yang diciptakan oleh kanjeng Sunan Kalijaga itu betul betul syarat dengan makna dan nasihat. Aku mendengarkan dengan kusyu, dan seolah ada hembusan di telingaku suara lirih namun jelas, "Ojo turu sore kaki, jangan tidur sore sore, artinya adalah jangan kebanyakan tidur, artinya seringlah tirakat malam hari, sebab di waktu malam ada dewa yang turun ke marcapada, atau malaikat yang turun ke bumi, untuk memberikan doa doa, dan membawakan rezki.
Siapapun yang senang tirakat, dengan sholat dan memanjatkan doa dimalam hari, makaAllah akan mengabulkan doa dengan mengutus para malaikat membawakan apa yang kita minta. Bokor kencana isine dungo tetulak, artinya kita juga akan di hindarkan dari mara bahaya".
Aku makin larut dalam nuansa tembang yang penuh mistis itu, aku seperti terhipnotis oleh alunannya, pelan pelan ada hembusan angin menerpa wajahku, angin itu terasa sejuk nan lembut, merasuk ke relung kalbu.
Tiba tiba ada suara anjing menyalak lalu melengking panjang, berbarengan dengan itu, tembang berganti lebih mistis. Dan terdengar sangat nggegirisi. Lamat lamat aku dengar Tembang Dandanggula dari Sunan Kalijaga syairnya demikian:
ana kidung, rumekso ing wengi
teguh hayu, luputo ing lara
luputo bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah penggawe olo
gunaneng wong luput
geni atemahan tirto
maling adoh tan ngarah ing mami
guno duduk pan sirno
ketika kidung dilantunkan di tengah malam atau ketika doa dipanjatkan malam,
itulah penyebab teguh dan terbebas dari segala penyakit
terlepas dari musibah bilahi
jin dan setan tak kuasa menggoda
teluh sihir guna guna tak kan mempan
niat jahat takkan terjadi
semua akan luput sia sia
panasnya api akan menjadi sejuk seperti dinginnya air
maling dan orang jahat takkan mampu menjamah
semua sirna
Suara lengkingan anjing anjing liar tiba tiba berhenti, suara suara atau bunyi bunyian malam yang lainnya pun tiba tiba terhenti, semua diam.... sepi mamring, seolah aku berada di ruang hampa, telingaku mendengar sebuah kekosongan.
Lalu tembang kidung kematianpun mulai sayup sayup kudengar, suaranya lirih tapi sangat jelas di telingaku, seolah aku diperintah untuk harus mendengarnya
syair tembang kematian
kaweruhono, dununge wong urip puniki
lamon mbenjang yen wus palastro
wong mati, nyang endi parane
umpama'no peksi mabur
lepas saking kurunganegi
jiwo ninggale rogo bali nyang moho agung
upomo wong lungo sonjo
jan sinenjan wong sonjo wajibe mulih
mulih ning ngisor semboja
mengertilah, tempatnya manusia hidup
saat besok sudah tak bernyawa
orang mati, hendak kemana tujuannya
seperti burung yang lepas dari sangkarnya
jiwa meninggalkan raga
kembali kepada yang maha agung
seperti orang pergi ke warung atau pasar
ketika sudah berbelanja, pasti akan pulang
pulang ke bawah pohon semboja....
Tak terasa mata ini meleleh, terbayang dosa dosa yang pernah kulakukan, terbayang semua kesalahan, seolah semua terlihat jelas dipelupuk mata, terngiang ngiang diingatan...
Mati.....
Kita semua akan mati, kapan, kita tak tahu,
Maka bertobatlah, demikian bisikan yang terakhir, yang aku dengar, setelah itu aku tersentak, dan baru tersadar kembali.
Hujan baru saja berhenti, ketika jam di tanganku menunjuk angka setengah duabelas malam. Senter ditanganku tak sedetikpun aku matikan, menyorot ke jalan yang kupijak, memlipir ke bagian yang tidak becek, untuk terus menyusuri jalan desaku.
Sebenarnya tempat yang aku tuju malam itu tidaklah seberapa jauh, namun karena jalan desaku waktu itu memang masih berupa tanah terjal, maka perjalananku dengan jalan kaki, terasa menjadi memakan waktu lama untuk mencapainya.
Akhirnya sampai juga, yah, aku berhenti persis di depan sebuah batu besar, yang berdiri kokoh di pinggir kali Cacaban. Namanya watu Karang Gemantung.
Aku mendekat ke arah Karang Gemantung dengan menuruni beberapa galengan atau budinan milik warga. Lalu ku keluarkan pisau lipat kecilku dan aku cari daun pisang, terus kujadikan alas untuk duduk, persis disisi utara dari batu besar itu.
Aku mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya dan kuhisap pelan sambil merasakan betapa syahdunya suasana malam itu.
Suara suara binatang malam hari, gemerisiknya dedaunan dan suara derasnya air kali cacaban, menjadikan suasana semakin serasa indah dan damai terdengar di telingaku.
Aku semakin larut dalam suasana malam itu, tak terasa, sebatang rokok yang aku hisap dari tadi pun sudah habis. Untuk mengusir rasa dingin aku menyulut satu batang rokok lagi. Sambil membetulkan rodong kain sarungku agar lebih rapat menutupi tubuhku.
..................
Malam makin beranjak, angin sepoi berhembus, tetesan sisa air hujan jatuh dari dedaunan mengenai wajahku. Aku makin asyik dalam kesendirianku, bergumul dengan gemuruhnya jiwa, merenungi gejolak rasa hati, yang berbaur dengan tanda tanya, apa, siapa, dimana, dari mana, dan akan kemana.
Aku ini apa, aku ini siapa, aku ini dimana, aku ini dari mana, aku ini akan kemana. Masih terngiang jelas, kata kata temanku, dia seorang dalang, dan dia menyebut, ilmu 'sangkan paraning dumadi' .
Aku penasaran, aku ingin tahu, lalu akupun asyik dengan pertanyaan itu, hanya kepada diriku sendiri.
Tiba tiba sayup sayup kudengar dari kejauhan, sebuah tembang , entah siapa yang menyanyikannya namun yang kudengar syair lagu tersebut adalah:
ojo turu, sore kaki
ono dewo, langlang jagad
nyangking bokor kencanane
isine dedungo tetulak
sandang kelawan pangan
yoiku bageanipun,
wong melek, sabar, narimo
Aku suka sekali tembang itu, tembang yang diciptakan oleh kanjeng Sunan Kalijaga itu betul betul syarat dengan makna dan nasihat. Aku mendengarkan dengan kusyu, dan seolah ada hembusan di telingaku suara lirih namun jelas, "Ojo turu sore kaki, jangan tidur sore sore, artinya adalah jangan kebanyakan tidur, artinya seringlah tirakat malam hari, sebab di waktu malam ada dewa yang turun ke marcapada, atau malaikat yang turun ke bumi, untuk memberikan doa doa, dan membawakan rezki.
Siapapun yang senang tirakat, dengan sholat dan memanjatkan doa dimalam hari, makaAllah akan mengabulkan doa dengan mengutus para malaikat membawakan apa yang kita minta. Bokor kencana isine dungo tetulak, artinya kita juga akan di hindarkan dari mara bahaya".
Aku makin larut dalam nuansa tembang yang penuh mistis itu, aku seperti terhipnotis oleh alunannya, pelan pelan ada hembusan angin menerpa wajahku, angin itu terasa sejuk nan lembut, merasuk ke relung kalbu.
Tiba tiba ada suara anjing menyalak lalu melengking panjang, berbarengan dengan itu, tembang berganti lebih mistis. Dan terdengar sangat nggegirisi. Lamat lamat aku dengar Tembang Dandanggula dari Sunan Kalijaga syairnya demikian:
ana kidung, rumekso ing wengi
teguh hayu, luputo ing lara
luputo bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah penggawe olo
gunaneng wong luput
geni atemahan tirto
maling adoh tan ngarah ing mami
guno duduk pan sirno
ketika kidung dilantunkan di tengah malam atau ketika doa dipanjatkan malam,
itulah penyebab teguh dan terbebas dari segala penyakit
terlepas dari musibah bilahi
jin dan setan tak kuasa menggoda
teluh sihir guna guna tak kan mempan
niat jahat takkan terjadi
semua akan luput sia sia
panasnya api akan menjadi sejuk seperti dinginnya air
maling dan orang jahat takkan mampu menjamah
semua sirna
Suara lengkingan anjing anjing liar tiba tiba berhenti, suara suara atau bunyi bunyian malam yang lainnya pun tiba tiba terhenti, semua diam.... sepi mamring, seolah aku berada di ruang hampa, telingaku mendengar sebuah kekosongan.
Lalu tembang kidung kematianpun mulai sayup sayup kudengar, suaranya lirih tapi sangat jelas di telingaku, seolah aku diperintah untuk harus mendengarnya
syair tembang kematian
kaweruhono, dununge wong urip puniki
lamon mbenjang yen wus palastro
wong mati, nyang endi parane
umpama'no peksi mabur
lepas saking kurunganegi
jiwo ninggale rogo bali nyang moho agung
upomo wong lungo sonjo
jan sinenjan wong sonjo wajibe mulih
mulih ning ngisor semboja
mengertilah, tempatnya manusia hidup
saat besok sudah tak bernyawa
orang mati, hendak kemana tujuannya
seperti burung yang lepas dari sangkarnya
jiwa meninggalkan raga
kembali kepada yang maha agung
seperti orang pergi ke warung atau pasar
ketika sudah berbelanja, pasti akan pulang
pulang ke bawah pohon semboja....
Tak terasa mata ini meleleh, terbayang dosa dosa yang pernah kulakukan, terbayang semua kesalahan, seolah semua terlihat jelas dipelupuk mata, terngiang ngiang diingatan...
Mati.....
Kita semua akan mati, kapan, kita tak tahu,
Maka bertobatlah, demikian bisikan yang terakhir, yang aku dengar, setelah itu aku tersentak, dan baru tersadar kembali.
Komentar
Posting Komentar